Ah, ini sih mo ngitung secara kasar berdasarkan perhitungan tukang cetak. Hehehe.. jadi yang dihitung di sini dengan angka adalah anggaran untuk biaya cetak kaos, baliho, dan spanduk. Untuk stiker, pamflet dan sejenisnya dari masing-masing caleg dan partai silakan hitung sendiri ya.
Untuk kampanye Caleg (menggunakan uang pribadi+dana dari sponsor kalo ada):
1. Biaya bikin kaos dan dicap pake foto dan nama partai dengan hitungan asumsi murah:
Beli kaos yang murah Rp 5000 per kaos
ongkos sablon Rp 2000 per kaos.
Jumlah kaos yang dibeli 2000 kaos
Rp 5000 x 2000 = Rp 10.000.000 (untuk beli kaos aja)
Rp 2000 x 2000 = Rp 4.000.000 (untuk sablon kaos)
Total Rp 14.000.000
Ini ongkos beli kaos dan sablon kaos sejumlah 2000 kaos dari satu caleg. Jika dari satu kecamatan (dapil) dari satu partai berjumlah 12 caleg, dan dianggap mengeluarkan duit yang sama, maka jumlah duit yang dikeluarkan dari satu partai adalah: 12 caleg x 14.000.000 = Rp 168.000.000 (seratus enam puluh delapan juta rupiah).
Jika dihitung dari semua partai yang ada dalam satu kecamatan tersebut, dan diasumsikan mengeluarkan duit dengan jumlah yang sama, maka Rp 168.000.000 x 38 partai = Rp 6.384.000.000 (enam miliar tiga ratus delapan puluh empat juta rupiah).
Ini barus satu produk, yakni kaos, yang di dihitung di satu kecamatan. Sekarang jika dalam satu kota ada 5 kecamatan (misalnya), maka dihitung: Rp 6.384.000.000 x 5 kecamatan = Rp 31.920.000.000 (tiga puluh satu miliar, sembilan ratus dua puluh juta rupiah)
2. Bikin baliho
Cetak per baliho dengan ukuran 2 m x 3 m (untuk dicetak “digital printing” jadi ukurannya 6 meter persegi), dengan harga per meter persegi paling murah (jika ordernya banyak) diasumsikan adalah Rp 20.000. Sebab, harga per meter untuk di Bogor saja adalah Rp 35.000 (dengan jumlah pesanan paling minim, yakni satu). Berarti hitungannya, Rp 20.000 x 6 m2 = Rp 120.000 (seratus dua puluh ribu). Anggap saja bikin 25 biji, jadi hitungannya: Rp 120.000 x 25 baliho = Rp 3.000.000 (tiga juta rupiah).
Dalam 1 partai ada 12 caleg, diasumsikan melakukan hal yang sama, maka hitungannya: Rp 3.000.000 x 12 caleg dari satu partai= Rp 36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah).
Dalam satu kecamatan ada 38 partai, dan diasumsikan melakukan hal yang sama, maka hitungannya: Rp 36.000.000 x 38 partai = Rp 1.368.000.000 (satu miliar tiga ratus enam puluh delapan juta rupiah).
Dalam satu kota, misalnya ada (diasumsikan rata-rata 5 kecamatan), maka hitungannya: Rp 1.368.000.000 x 5 kecamatan = Rp 6.840.000.000 (enam miliar delapan ratus empat puluh juta rupiah).
3. Bikin spanduk
Cetak per spanduk dengan ukuran 4m x 1 m (untuk dicetak “digital printing” jadi ukurannya 4 m2), dengan harga per meter persegi paling murah (jika order banyak) diasumsikan adalah Rp 20.000. Berarti hitungannya, Rp 20.000 x 4 m2 = Rp 80.000 (delapan puluh ribu rupiah).
Anggap saja bikin 50 biji, maka hitungannya: Rp 80.000 x 50 spanduk = Rp 4.000.000 (empat juta rupiah).
Dalam 1 partai ada 12 caleg, diasumsikan melakukan hal yang sama, maka hitungannya: Rp 4.000.000 x 12 caleg dari satu partai= Rp 48.000.000 (empat puluh delapan juta rupiah).
Dalam satu kecamatan ada 38 partai, dan diasumsikan melakukan hal yang sama, maka hitungannya: Rp 48.000.000 x 38 partai = Rp 1.824.000.000 (satu miliar delapan ratus dua puluh empat juta rupiah).
Dalam satu kota, misalnya ada (diasumsikan rata-rata 5 kecamatan), maka hitungannya: Rp 1.824.000.000 x 5 kecamatan = Rp 9.120.000.000 (sembilan miliar seratus dua puluh juta rupiah).
Biaya lainnya silakan hitung sendiri seperti ongkos: bikin spanduk kecil (1 x 1 meter) yang biasanya ditaro di pohon atau mobil dsb; penggalangan massa untuk kampanye; uang makan tim sukses selama kampanye; sewa soundsystem; sewa tenda; sewa mobil; biaya keamanan dsb.
Jika dihitung dari tiga produk itu, paling nggak setiap caleg di satu partai harus memiliki modal minimal: Rp 14.000.000 + Rp 3.000.000 + Rp 4.000.000 = Rp 21.000.000 (dua puluh satu juta rupiah), ini hitungan minimal dan baru 3 produk. Anggap saja dana tambahan lainnya sekitar Rp 14 juta, maka setidaknya Rp 35.000.000 sebagai modal dana awal kampanye kudu dimiliki setiap caleg. Mungkin saja ada yang lebih dari itu (karena ini hanya rata2), atau malah ada segelitir caleg yang biayanya kurang dari itu atau mungkin gratis (mungkin nggak?) Hehehe.. lumayan gede juga kan uang segitu di jaman krisis kayak sekarang?
Okelah, mungkin bagi seorang caleg yang mampu bukan persoalan uang sejumlah Rp 35 juta. Tapi kira2 kalo disuruh urunan secara sukarela untuk ngasih ke rakyat miskin mau nggak ya? Taruhlah setiap caleg Rp 35 juta x 12 di setiap partai x 38 partai x 5 kecamatan, sehingga uang yang terkumpul untuk rakyat menjadi Rp 35 juta x 12 x 38 x 5 = Rp 79.800.000.000 (sembilan puluh satu miliar dua ratus juta rupiah) dari satu kota/kab.
Dan kalo dihitung per kecamatan, di Indonesia sendiri berdasarkan data BPS jumlah kecamatan ada 6300. Wah, bayangkan jika Rp 79,8 miliar itu dikalikan 6300. Yup, jumlah tepatnya Rp 502,74 triliun.
Wow, besar juga ya? Okelah, mungkin saja di tiap kecamatan ada partai yang nggak masuk ke sana. Kita asumsikan dana yang dikeluarkannya hanya 50% dari situ (setelah dikurangi kecamatan yang tidak memiliki jumlah partai hingga 38). Tetep aja angkanya tinggi, Rp 502,74 triliun x 50% = Rp 251,37 triliun.
Jadi, Pemilu ini membutuhkan dana besar, hingga ratusan triliun dengan hasil yang mudah dipresdiksi, tidak bisa menyelesaikan masalah. Begitulah demokrasi.
Angka ini pasti akan besar lagi jika ditambah ongkos untuk KPU saja, misalnya dalam mencetak kartu suara, menyortir, mengumpulkan berdasarkan pesanan di tiap kota/kabupaten plus ongkos distribusinya. Belum lagi upah pekerja “borongan” yang bekerja untuk itu. Belum lagi uang makan petugas PPS (Panitia Pemungutan Suara), sewa tenda untuk TPS, ongkos bikin kotak suara dan seabrek kebutuhan lainnya.
Belum lagi nanti pemilu presiden.. ongkos lagi.. ckckc.. dana pemilu memang besar dan pesta ini mewah.. tapi hasilnya? Hehe.. gampang ditebak. Tak pernah bisa menyelesaikan masalah.
Oya, boleh juga tuh kita “ngintip” niat para caleg, yang bisa saja ada ambisi lain yang menyertainya, apalagi dana Rp 35 juta masing-masing caleg bukan sedikit. Kalo yang ngutang sana-sini pas gagal bisa stres. Kalo berhasil mungkin saja bakalan mikirin “kembali modal”. Lalu untuk apa kita memilih mereka jika suara kita dibutuhkan hanya untuk mendongkrak nama caleg tersebut sehinga berhasil mendapatkan kursi di DPRD I atau II atau di DPR, dan setelah itu sang caleg “memperkaya diri” sendiri tanpa mikirin yang nyontreng (wong kenal saja nggak, gimana mau peduli en mikirin)
Ah, sebaiknya kita semua sadar. Demokrasi ini hanya akan terus mendapatkan “nafas” segar jika kita mendukungnya. Lebih baik putus “selang oksigen” untuk demokrasi dengan cara tidak mendukung setiap upaya melanggengkan demokrasi. Apa kita masih betah hidup dengan penuh ketidakpastian bersama demokrasi?
Udah ah, capek nulisnya, sampai sini dulu, lain waktu disambung lagi. Sampai jumpa di tulisan berikutnya ya..
Salam perjuangan dan kemenangan ideologi Islam,